SEJARAH SIMANJUNTAK SITOLU SADA INA DOHOT BORUNA
Anak
pertama Raja Marsundung Simanjuntak (Simanjuntak yang pertama) lahir
dari Boru Hasibuan, yaitu Raja Parsuratan Simanjuntak (parhorbo jolo).
SIMANJUNTAK Sitolu Sada Ina adalah 3 bersaudara lahir dari Sobosihon
Boru Sihotang istri yang berikutnya:
1. Raja Mardaup Simanjuntak
2. Raja Sitombuk Simanjuntak
3.Raja Hutabulu Simanjuntak
Mulanya
sebutan ‘parhorbo jolo-pudi’ ini merupakan sindiran masyarakat karena
pembagian warisan yang aneh oleh RAJA PARSURATAN terhadap adiknya.
Sindiran tersebut karna parhorbo jolo sebagai anak sulung tidak adil
membagi harta warisan (sawah dan kerbau) sepeninggal ayahanda di Balige.
RAJA MARSUNDUNG menikah dengan SOBOSIHON Boru SIHOTANG setelah istrinya
Boru HASIBUAN meninggal. RAJA PARSURATAN pernah hampir membunuh
SIMANJUNTAK Sitolu Sada Ina sewaktu SIMANJUNTAK Sitolu Sada Ina masih
bayi. Ketika RAJA MARDAUP lahir RAJA PARSURATAN hampir membunuhnya namun
gagal berkat antisipasi Ompu-nya SIMANJUNTAK Sitolu Sada Ina yaitu SI
GODANG ULU (SIHOTANG) maka RAJA MARDAUP selamat. Kisah itu diketahui
SIMANJUNTAK Sitolu Sada Ina setelah mereka dewasa, namun SIMANJUNTAK
Sitolu Sada Ina tetap tidak pernah menaruh dendam terhadap kakaknya atas
pesan dari ibunda tercinta agar SIMANJUNTAK Sitolu Sada Ina tetap
menganggap RAJA PARSURATAN sebagai pengganti ayah. Diceritakan oleh
CYRUS JALA SIMANJUNTAK (1902-1975) dan Pdt.Ev. SAITUN ROBERTH HASIHOLAN SIMANJUNTAK (1946-2006)
RAJA
MARSUNDUNG SIMANJUNTAK adalah anak kedua dari pasangan TUAN SOMANIMBIL
dan istrinya Boru LIMBONG. Mereka mempunyai tiga anak, yitu:
- SOMBA DEBATA SIAHAAN, menikah dengan Boru LUBIS.
- RAJA MARSUNDUNG SIMANJUNTAK, menikah dengan Boru HASIBUAN lalu kemudian setelah duda menikah dengan SOBOSIHON Boru SIHOTANG.
- TUAN MARRUJI HUTAGAOL, menikah dengan Boru PASARIB
RAJA
MARSUNDUNG menikah dengan Boru HASIBUAN lalu mereka menetap di Hutabulu
(sekarang Parlumbanan). Mereka dikaruniai seorang putera bernama RAJA
PARSURATAN dan seorang puteri bernama SIPAREME. Kehidupan mereka
diberkati dengan banyak sekali ternak kerbau hingga orang sering
menyebut RAJA MARSUNDUNG dengan sebutan ‘SIMANJUNTAK PARHORBO’.
Mautpun
memisahkan dan RAJA MARSUNDUNG menjadi duda setengah umur. Suatu saat
dia sakit parah bahkan dia tak sanggup mengurus dirinya sendiri. Menurut
adat Batak Toba yang layak mengurus dia hanya Boru LUBIS yang adalah
istri abangnya (akang boru). Kalau Boru PASARIBU yang adalah istri
adiknya (anggi boru) pantang saling bicara dengan dia begitu juga
menantunya (parumaen) tidak boleh berbicara dengan dia sebab begitu
adatnya. Sementara puterinya sendiri, SIPAREME segan mengurusnya sampai
perkara yang sangat sensitif.
Kemudian
RAJA MARSUNDUNG pulih lalu SOMBA DEBATA SIAHAAN menganjurkan padanya
agar dia menikah lagi supaya ada yang mengurusnya kelak apabila dia
sakit. Hal ini tidak disetujui RAJA PARSURATAN dan TUAN MARRUJI HUTAGAOL
namun, karena fakta dan pengalaman pahitnya, RAJA MARSUNDUNG setuju
untuk menikah lagi.
Pada
masa itu ada istilah kalau ingin mencari istri pengganti maka sebaiknya
pergi menyeberangi danau Toba (versi asli: molo mangalului panoroni ba
borhatma tu bariba ni tao Toba). SOMBA DEBATA SIAHAAN dan RAJA
MARSUNDUNG pun berangkat ke daerah Si Raja Oloan. Di sana ada seorang
lelaki yang agak asing rupa fisiknya. Bentuk kepalanya besar dan dia
dinamai RAJA SI GODANG ULU SIHOTANG. Keanehan ini juga tampak pada anak –
anaknya sehingga terkadang mereka sering dikucilkan banyak orang sampai
– sampai walaupun puterinya sendiri SOBOSIHON berumur banyak belum ada
laki – laki yang mau melamarnya hingga RAJA MARSUNDUNG melamarnya.
Kedatangan
RAJA MARSUNDUNG melamar SOBOSIHON sangat menggembirakan hati RAJA SI
GODANG ULU walaupun yang melamar puterinya adalah seorang duda yang
sudah memiliki anak. Namun itu bukan persoalan baginya dan pernikahan
secara adat sepenuh (adat na gok) dilakukan. Wali pengantin prianya
adalah SOMBA DEBATA SIAHAAN. SOBOSIHON pun menjadi istri RAJA
MARSUNDUNG. Mereka bermukim di Parlumbanan (saat narator berkunjung ke
daerah Parlumbanan lokasi daerah ini merupakan persawahan).
Setelah
tiba waktunya bagi SOBOSIHON untuk melahirkan, beberapa hari sebelumnya
dia telah memberi kabar kepada ayahnya tentang keadaannya itu. Namun,
perasaan sang calon ibu ini gelisah setelah mendapat mimpi; ketika
SOBOSIHON akan mandi di Aek Na Bolon, setelah dia membuka bajunya tiba –
tiba petir menyambar buah dadanya sebelah. Mimpi ini juga diberitahukan
kepada RAJA SI GODANG ULU. Setelah mendengar kabar dan mimpi puterinya
itu dia menyuruh menantu perempuannya (parumaen) berangkat menemui
puterinya di Parlumbanan Balige. Padahal menantunya ini baru lima hari
selesai melahirkan bayi perempuan namun, karena taat kepada mertuanya
dia tetap bersedia pergi disertai tugas dan pesan khusus dari RAJA SI
GODANG ULU. Adapun tugas dan pesan itu;
– Memberitahu SOBOSIHON bahwa akan ada bahaya yang mengancam bayinya setelah dia bersalin.
– Apabila bayi yang lahir laki – laki maka bayi itu harus ditukarkan dengan bayi perempuan menantunya ini dan bayi laki – laki itu harus dipangku dan disusui oleh menantu RAJA SI GODANG ULU ini sampai bahaya berlalu.
– Kelak apabila kedua bayi itu sudah dewasa maka mereka sebagai berpariban telah dipertunangkan sejak lahir (dipaorohon).
– Apabila bayi yang lahir laki – laki maka bayi itu harus ditukarkan dengan bayi perempuan menantunya ini dan bayi laki – laki itu harus dipangku dan disusui oleh menantu RAJA SI GODANG ULU ini sampai bahaya berlalu.
– Kelak apabila kedua bayi itu sudah dewasa maka mereka sebagai berpariban telah dipertunangkan sejak lahir (dipaorohon).
Sesampainya
di Parlumbanan, menantu RAJA SI GODANG ULU atau yang disebut ‘Nantulang
Na Burju’ oleh Parhorbo pudi ini, dia mendapati SOBOSIHON sedang
bergumul dibantu dukun beranak (sibaso) untuk bersalin. Lalu kemudian
lahirlah bayi laki – laki dan setelah dimandikan sang bayi langsung
ditukarkan sesuai pesan tadi.
Diadakanlah
acara makan bersama (pangharoanion) untuk syukuran kelahiran bayi itu.
Seluruh penduduk kampung diundang. Mendengar kabar bahwa adik tirinya
adalah laki – laki maka RAJA PARSURATAN menjadi benci dan ingin membunuh
adiknya itu sebab menurutnya kelak akan ada pewaris harta ayahnya
selain dia.
RAJA
PARSURATAN pun datang ke acara itu dan dia membawa pisau penyadap pohon
enau di dalam sarung yang terselip di pinggangnya. Kehadirannya membuat
semua orang terharu sebab selama ini dia memusihi ibu tirinya, namun di
saat kegembiraan dirasakan dan dirayakan ibu tirinya dia turut hadir di
sana. itulah penilaian orang kebanyakan. Padahal RAJA PARSURATAN hendak
memanfaatkan momen ini untuk membunuh adik tirinya. Lalu dia meminta
supaya dia boleh memangku adiknya yang baru lahir itu. Dan bayi yang
telah bertukar tadi pun dipangkunya sampai bayi itu basah atau kencing.
RAJA PARSURATAN ingin mengganti kain popok adiknya.
Inilah
kesempatan bagi RAJA PARSURATAN. Ketika mengganti kain popok adiknya
maka dia berencana untuk menyelipkan pisau ketika kain itu dipakaikan.
Dia pun meminta kain pengganti itu pada SOBOSIHON. Namun SOBOSIHON takut
kalau – kalau RAJA PARSURATAN tahu bahwa bayi yang dipangkunya bukanlah
adiknya. Dia mengatakan pada RAJA PARSURATAN supaya biarlah ibu yang
mengganti kainnya. Akan tetapi karena RAJA PARSURATAN tetap berkeras
untuk mengganti kain adiknya maka orang banyak pun menyuruh SOBOSIHON
agar menurutinya.
Saat
membuka kain basah bayi yang dipangkunya RAJA PARSURATAN terperanjat
karena bayi yang dilihatnya bukanlah bayi laki – laki. Merasa niatnya
sudah terbaca maka geramlah hatinya dan dia berdiri lalu melangkahi bayi
itu dan berjalan menghampiri SOBOSIHON dan berkata; “Orang mengatakan
bahwa yang lahir adalah adikku laki – laki tetapi engkau telah menipuku
dengan memberi anak perempuan orang lain untuk aku pangku, inilah
bagianmu” RAJA PARSURATAN menghujamkan pisau tepat di dada dan memotong
buah dada SOBOSIHON lalu setelah itu lari meninggalkan acara yang dalam
keadaan kacau.
RAJA
PARSURATAN tidak berhasil menemukan dan membunuh adiknya tetapi buah
dada SOBOSIHON ibu tirinya telah menjadi tumbalnya (daupna) maka bayi
laki – laki itu diberi nama RAJA MARDAUP. Demikianlah RAJA MARDAUP
diselamatkan ‘Nantulang Na Burju’ yang rela menyeberangi danau Toba demi
menyampaikan pesan RAJA SI GODANG ULU. Itulah sebabnya sampai sekarang
semua keturunan SIMANJUNTAK dari SOBOSIHON sangat menghormati keturunan
dari SI GODANG ULU yaitu marga SIHOTANG.
SOBOSIHON
melahirkan bayi perempuan. Kabar ini terdengar ke seluruh penduduk
daerah Si Bagot Ni Pohan. Namun hal ini tidak meresahkan hati RAJA
PARSURATAN sebab dalam tradisi Batak anak perempuan tidak berhak dalam
pembagian warisan. Jadi kelahiran adik tiri yang perempuan ini turut
menggembirakan RAJA PARSURATAN. Sang bayi diberi nama SI BORU HAGOHAN
NAINDO.
Selang beberapa tahun kemudian SOBOSIHON melahirkan lagi. Begini ceritanya sehingga sang bayi diberi nama RAJA SITOMBUK.
Tak
henti – hentinya RAJA PARSURATAN mengamati kehidupan ibu tirinya yang
dia anggap bisa mengurangi jatah harta warisan untuknya kelak. Dia
bertanya kepada orang pintar apa jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan
ibunya. Setelah mengetahui bahwa bayi laki – laki jawabannya, dia
berusaha merancang kecelakaan agar bayi itu tidak bernyawa saat
dilahirkan.
Saat
ayah dan ibunya tidak berada di rumah, dia bekerja keras untuk memotong
kayu penghalang papan yang ada tepat di sekeliling tiang tengah rumah
(tiang siraraisan) dimana setiap ibu rumah tangga yang hendak bersalin
akan menyandarkan badannya di tiang itu dan kain pegangan yang dipakai
untuk bersalin juga digantungkan di situ.
Adapun
maksud RAJA PARSURATAN supaya ketika ibunya bersalin kayu penghalang
papan itu rubuh ketika diduduki setelah itu sang bayi akan celaka
terhimpit. Apa yang terjadi? Ternyata kayu itu patah sebelum sang bayi
lahir dan tembuslah lantai rumah itu.Karena kaget setelah tergeletak di
kolong rumah, seketika itu melahirkanlah SOBOSIHON dan bayinya selamat.
Bayi itu diberi nama RAJA SITOMBUK. Tombus dalam bahasa Indonesia
‘tembus’. Papan lantai rumah telah tembus dan kejadian itu pulalah yang
membuat bayi dilahirkan selamat walau tanpa bantuan dukun beranak.
Dengan
bantuan dukun beranak lahirlah bayi perempuan yang kedua bagi SOBOSIHON
lalu oleh RAJA MARSUNDUNG bayi itu diberi nama SI BORU NAOMPON. Sebelum
proses persalinan RAJA PARSURATAN telah mengetahui dari orang pintar
bahwa adiknya adalah perempuan. Hal ini tidak menjadi masalah baginya
walau ketamakan akan harta warisan masih memenuhi hati dan pikirannya
saat itu.
Rupanya
kali ini RAJA PARSURATAN pergi lagi bertanya kepada orang pintar
perihal jenis kelamin adik tirinya yang akan lahir. Jawaban dan
pemberitahuan yang diterimanya bahwa adiknya adalah laki – laki. Dia
teringat akan permintaan orang Batak perihal rumah; “Jabu sibaganding
tua ima hatubuan ni anak dohot boru si boan tua”. Artinya “Rumah tempat
berbagai macam tuah adalah tempat lahirnya putera dan puteri pembawa
tuah”.
Kali
ini RAJA PARSURATAN ingin memusnahkan rumah tempat tinggal ayahnya dan
ibu tirinya. Dia sendiri telah mempunyai rumah setelah menikah dan pisah
rumah dari orang tuanya (manjae). Dia hanya mempunyai seorang anak laki
– laki dan dia merasa posisinya kelak terancam jika semakin banyak anak
laki – laki yang dilahirkan ibu tirinya. Inilah yang membuat dirinya
selalu ingin berbuat sesuatu untuk melenyapkan setiap bayi laki – laki
dari ibu tirinya.
Waktunya
tiba dan SOBOSIHON akan melahirkan bayinya. Para ibu bersama dukun
beranak telah berkumpul dan memasuki rumah RAJA MARSUNDUNG. Dari
kejauhan RAJA PARSURATAN mengamat – amati mereka. Setelah melihat mereka
telah masuk ke rumah maka RAJA PARSURATAN membawa sulutan api. Dia
membakar atap rumah dari bagian dapur. Api menyala dan semua ornag
berhamburan keluar rumah termasuk SOBOSIHON. Dia panik sambil berteriak
api..api..api..api.. Dia pun berpegangan pada batang bambu yang berada
di pinggir pekarangan rumahnya.
Tidak
lama kemudian, orang – orang berdatangan ke sana dan berusaha bergotong
– royong memadamkan api. Perhatian orang teruju pada rumah yang mulai
terbakar dan pada saat itu pula di bawah pohon bambu lahirlah anak
kelima dari SOBOSIHON yang kemudian diberi nama RAJA HUTABULU karena
bayi itu dilahirkan di bawah pohon bambu di kampungnya.
Walaupun
selalu mendapat rintangan namun SOBOSIHON tetap tabah dalam setiap
proses persalinannya karena RAJA MARSUNDUNG dan keluarga SOMBA DEBATA
SIAHAAN terutama Boru LUBIS sangat memperhatikan dan mengasihinya.
Usia
RAJA MARSUNDUNG kira – kira telah lebih delapan puluh tahun lalu dia
meninggal dunia. Kepergian suaminya sangat membuat hati SOBOSIHON sedih
sementara anak bungsu mereka masih menyusui dan keempat anaknya yang
lain masih belum cukup dewasa.
Bagi
suku Batak Toba anak tertua adalah pengganti ayah bagi adik – adiknya.
Yang paling kehilangan sosok ayah hanya anak tertua. RAJA PARSURATAN
menggantikan kedudukan ayahnya dalam segala hal penting dia menjadi
kepala keluarga. Situasi ini dimanfaatkan RAJA PARSURATAN untuk
menguasai semua aspek kehidupan ibu tiri dan adik – adiknya sehari –
hari. Dia selalu bersikap diktator terhadap adiknya terutama yang laki –
laki. Namun SOBOSIHON selalu mengingatkan anak – anaknya agar mereka
selalu menghormati abang tirinya yang adalah pengganti ayah.
Setelah
beberapa tahun ayahnya meninggal RAJA PARSURATAN memanfaatkan tenaga
keenam orang adiknya dengan anak tunggal serta istrinya untuk
mengusahakan semua kebun dan sawah peninggalan mendiang ayahnya dan
dikelola seefektif mungkin. Perekonomian RAJA PARSURATAN pun meningkat.
Dia kemudian membangun rumah ukir (ruma gorga).
Setelah
bangunan induk selesai maka proses berikutnya dalam pembangunan rumah
ukir tersebut adalah pembuatan ukiran. Untuk mengukir relif rumah pada
masa itu lazim digunakan darah manusia sebagai campuran pewarna relif.
Hal tersebut agar rumah itu mempunyai semangat atau ada keangkerannya.
Mengingat RAJA PARSURATAN bukanlah seorang yang kuat dalam berperang
maka tidak mungkin baginya mendapatkan darah manusia dengan cara
berperang melawan negeri lain.
Timbullah
niat jahat RAJA PARSURATAN terhadap saudara tirinya. Pada suatu sore
dia meliahat kedua adik perempuannya tampak akrab sebab memang SIPAREME
sudah gadis dan HAGOHAN NAINDO mulai remaja. RAJA PARSURATAN ingin
membunuh adik tirinya untuk diambil darahnya sebagai campuran pewarna
rumah ukirnya. Kedua adik perempuannnya ini sering sama – sama tidur
dengan SOBOSIHON ibu mereka. Hampir setiap malam keduanya menganyam
tikar (mangaletek) dan bila sudah larut mereka tidur tanpa menyalakan
lampu. Sedangkan untuk menghindari gigitan nyamuk mereka menutup
badannya dengan tikar (marbulusan). kebiasaan tidur marbulusan ini
sampai sekarang masih dapat kita jumpai di beberapa daerah di Tapanuli
Utara. Demikianlah tiap malam cara kedua gadis ini menghabiskan waktu.
Tentang
rencana jahat RAJA PARSURATAN, untuk membedakan yang mana yang harus
dibunuh maka kepada SIPAREME diberikan sebuah gelang yang terbuat dari
gading. Konon gelang itu merupakan pusaka pemberian dari mendiang Boru
HASIBUAN, ibu kandungnya RAJA PARSURATAN. Lalu SIPAREME pun memakai
gelang itu. Melihat gelang yang sangat putih dan menyala dalam gelap,
HAGOHAN NAINDO tertarik akan gelang itu. Dia meminjam dan kemudian
memakainya. Seperti biasanya mereka menganyam tikar setelah malam tiba
mereka tidur marbulusan dan gelang tadi masih di tangan HAGOHAN NAINDO.
Malam
itu menjelang subuh datanglah pembunuh bayaran ke rumah RAJA PARSURATAN
dengan membawa pisau. RAJA PARSURATAN berpesan pada pembunuh itu bahwa
sekarang ada dua gadis yang tidur di rumah ayahnya dan gadis yang tidak
memakai gelanglah yang harus dibunuh. Pembunuh itupun melaksanakan
tugasnya kemudian SIPAREME dibunuh lalu darahnya ditampung dan diberikan
kepada RAJA PARSURATAN. Sementara mayat SIPAREME dibuang ke lembah yang
tak dapat dituruni yaitu yang sekarang terletak di lembah Sipintu Pintu
(perbatasan antara Balige dengan Siborong Borong). Matahahari pun
terbit dengan air mata dan tangisan HAGOHAN NAINDO karena kakaknya telah
hilang.
Demikianlah
rencana jahat RAJA PARSURATAN dimana dia hendak membunuh HAGOHAN NAINDO
tetapi yang terbunuh adalah SIPAREME yaitu adik kandungnya satu –
satunya.
Melihat
tindak – tanduk anak tirinya SOBOSIHON selalu bersusah hati, apalagi
setelah SIPAREME diketahui dibunuh dan darahnya dijadikan campuran
pewarna ukiran rumah RAJA PARSURATAN. Hal ini membuat SOBOSIHON jatuh
sakit hingga penyakitnya parah. Saat penyakitnya semakin memburuk, dia
dikelilingi kelima anaknya, sedang RAJA PARSURATAN seperti biasanya
pergi ke sawah.
Saat itu SOBOSIHON berpesan:
- Jangan lupakan apa yang telah dilakukan oleh abangmu RAJA PARSURATAN akan tetapi, jangan balaskan perbuatan jahatnya karena hanya MULA JADI NA BOLON (Tuhan) sajalah yang akan membalaskannya.
- RAJA PARSURATAN itu adalah abangmu sebagai ganti ayah bagimu, dimana dia duduk janganlah kamu menghampiri dan jika kamu sedang duduk di suatu tempat kalau dia datang tinggalkanlah dia, karena dia adalah ganti ayah bagimu yang harus kamu hormati.
- Jangan kamu menyusahkan hatinya walaupun dia menyusahkan kamu, bila kamu sedang menyalakan api di dapur rumahmu atau dimana saja lalu asapnya terhembus angin ke rumahnya atau ke arah di mana abangmu berada padamkanlah apimu itu supaya dia tidak mengeluarkan air mata karena asap apimu walaupun kamu harus terlambat menyiapkan masakanmu.
- Jangan bertengkar dengan abangmu, sebab itu apabila tanamanmu ada yang condong tumbuh mengarah ke pekarangan rumahnya seumpama tanaman pisangmu sedang tumbuh dan berjantung maka lebih baik tebang saja itu dari pada setelah buahnya ada lalu diambil oleh anaknya dan kamu tidak bisa menahan emosimu dan bertengkar.
Setelah menyampaikan pesannya SOBOSIHON menghembuskan nafas terkahir. Pesan inilah yang kemudian sampai saat ini terus mewarnai pola hidup dari keturunan RAJA MARDAUP, RAJA SITOMBUK dan RAJA HUTABULU dan pesan – pesan tersebut sangat dihargai dan dituruti oleh seluruh keturunan SIMANJUNTAK SI TOLU SADA INA.
Setelah
beberapa tahun SOBOSIHON meninggal, keluarga SIMANJUNTAK tiga
bersaudara satu ibu ini dilanda kesedihan karena SI BORU HAGOHAN NAINDO
gadis yang rupawan ini meninggal dunia dengan cara yang menyedihkan.
Suatu
hari pada musim panen RAJA PARSURATAN telah menyabit sawahnya dan
padinya telah dikumpulkan di sawah hanya tinggal menunggu dibersihkan
dari batangnya saja. Cara membersihkannya dengan menginjak – injak
batang padi yang ada bagian bulirnya (mardege). Untuk mardege biasanya
dilakukan secara bergotong – royong bersama para tetangga di waktu subuh
supaya ketika matahari terbit dan panas menyengat padi yang sudah
dilepas dari jeraminya tinggal dijemur dan pada sore hari padi tinggal
dibersihkan dari sekam dengan bantuan angin (mamurpur).
Pada
pagi yang naas itu RAJA PARSURATAN beserta beberapa orang berangkat ke
sawah untuk mardege. Sebelum berangkat dia berpesan pada SI BORU HAGOHAN
NAINDO agar menyiapkan makan siang dan membawanya ke sawah. Makan pagi
telah dibawa istri RAJA PARSURATAN. Sebenarnya ini adalah rencana
jahatnya terhadap adiknya. sebab sesungguhnya bekal makan pagi tidak
jadi dibawa ke sawah.
Menjelang
siang semua orang yang bergotong – royong bekerja di sawah sudah
bersungut – sungut karena rasa lapar dan mereka berkata; “DImana adikmu
yang akan membawakan makanan pagi ini, kenapa dia belum datang juga?”.
Sebelumnya RAJA PARSURATAN mengatakan pada mereka bahwa dia sudah
berpesan pada adiknya agar makan pagi dipersiapkan, namun sebenarnya
tidak demikian.
Sekira
pukul sebelas atau menjelang teriknya panas matahari (mareak hos ni
ari) datanglah SI BORU HAGOHAN NAINDO dengan membawa makanan tetapi dia
disambut dengan caci maku oleh semua orang. Lalu RAJA PARSURATAN
mengambil hidangan yang dijunjung di atas kepala SI BORU HAGOHAN NAINDO
dan langsung mencampakkan air panas ke wajahnya. SI BORU HAGOHAN NAINDO
meraung – raung kesakitan wajahnya melepuh. Saat itu pula RAJA
PARSURATAN mengambil jerami dan menutupi badan SI BORU HAGOHAN NAINDO
lalu menyulut jerami itu dengan api sehingga SI BORU HAGOHAN NAINDO
terbakar hidup – hidup.
Demikianlah
SI BORU HAGOHAN NAINDO mati dalam rasa sakitnya yang tak terperikan.
Setelah tak bernyawa dia ditanam tanpa sepengetahuan saudara –
saudaranya. Namun, bagaimanapun setiap perbuatan busuk akan tercium juga
baunya. Salah seorang yang mengetahui pembunuhan itu berpihak kepada
keturunan SOBOSIHON dan menceritakannya pada mereka. Hal ini sering
membuat puteri (boru) SIMANJUNTAK yang mengetahui kisah ini merasa sakit
hati terhadap Parhorbo jolo hingga kini.
Kematian
SI BORU HAGOHAN NAINDO membuat SI BORU NAOMPON trauma untuk menjalani
hidup tinggal di Balige. Dia sering menangis mengingat tragedi maut yang
dialami kedua kakaknya. Dia meminta pada ketiga saudaranya agar dia
diantar ke daerah Si Raja Oloan ke rumah RAJA SI GODANG ULU SIHOTANG
(Ompungnya). Hal ini membuat ketiga saudaranya terharu.
Muncul
persoalan. Siapa yang akan memasak makanan dan mengurus rumah apabila
SI BORU NAOMPON pergi? RAJA HUTABULU berkata pada abangnya; “Bukankah
dulu abang RAJA MARDAUP telah ditunangkan dengan paribannya sejak lahir?
Sekarang abang ambil saja dia menjadi pendamping abang secepatnya agar
ada yang mengurus rumah dan memasak makanan untuk kita”.
Perkataan
ini membuka jalan pikiran ketiga saudaranya dan sekaligus membuka jalan
bagi SI BORU NAOMPON untuk dapat tinggal di kampung Ompugnya. Lalu
mereka berangkat ke sana. Setelah SI BORU NAOMPON diantar kemudian
ketiga bersaudara ini kembali ke Balige bersama pariban yang telah
menjadi istri RAJA MARDAUP, yaitu Boru SIHOTANG cucu SI GODANG ULU yang
kemudian melahirkan tiga orang anak laki – laki:
1. NA MORA TANO, kemudian menikah dengan Boru SIHOTANG.
2. NA MORA SENDE, kemudian menikah dengan Boru SIHOTANG.
3. TUAN SI BADOGIL, kemudian menikah dengan Boru SIAGIAN PARDOSI.
1. NA MORA TANO, kemudian menikah dengan Boru SIHOTANG.
2. NA MORA SENDE, kemudian menikah dengan Boru SIHOTANG.
3. TUAN SI BADOGIL, kemudian menikah dengan Boru SIAGIAN PARDOSI.
Demikianlah
kisah pertunangan antara RAJA MARDAUP dengan paribannya yang sudah
dipertunangkan dari lahir dan kemudian berakhir dengan pernikahan
setelah mereka dewasa.
Suatu saat terdengar kabar bahwa di Laguboti ada seorang gadis cantik puteri dari RAJA ARUAN dan cucu dari PANGULU PONGGOK. Gadis ini sangat pintar menyanyi dan merdu suaranya. Mendengar kabar itu RAJA SITOMBUK yang pintar bermain seruling bambu dan menguasai hampir semua lagu yang populer pada zamannya, datang bertandang ke Laguboti.
Suatu saat terdengar kabar bahwa di Laguboti ada seorang gadis cantik puteri dari RAJA ARUAN dan cucu dari PANGULU PONGGOK. Gadis ini sangat pintar menyanyi dan merdu suaranya. Mendengar kabar itu RAJA SITOMBUK yang pintar bermain seruling bambu dan menguasai hampir semua lagu yang populer pada zamannya, datang bertandang ke Laguboti.
Setibanya
di sana dia kemudian meniup serulingnya. tanpa diketuk pintu rumah para
gadis di Laguboti telah terbuka untuknya bahkan kadang – kadang mereka
datang melihat permainan suling itu dari dekat. Pilihan si pemuda
ganteng ini jatuh pada gadis tercantik dan yang pintar pula menyanyi.
Setiap RAJA SITOMBUK bertandang ke Laguboti, kehadirannya ini selalu
menjadi acara hiburan bagi muda – mudi setempat.
RAJA
SITOMBUK menyampaikan maksudnya ingin mempersunting Boru ARUAN pada
amang tuanya yaitu SOMBA DEBATA SIAHAAN dan juga RAJA MARDAUP abangnya.
Sepeninggal mendiang SOBOSIHON, RAJA PARSURATAN sudah tidak perduli lagi
terhadap keturunan SOBOSIHON.
Akhirnya
pesta adat sepenuh pun (adat na gok) diadakan untuk memperistri Boru
ARUAN. Dari pernikahan ini RAJA SITOMBUK memperoleh seorang anak laki –
laki bernama RAJA MANGAMBIT TUA.
Puteri dari RAJA MARSUNDUNG yang hidup hanya SI BORU NAOMPON. Dia tinggal bersama ompungnya di Si Raja Oloan. Suatu kali pada musim panen RAJA MARDAUP dan RAJA SITOMBUK sepakat untuk mengutus RAJA HUTABULU berangkat ke rumah ompung mereka menjemput SI BORU NAOMPON menggunakan sampan kecil (solu pardengke).
Puteri dari RAJA MARSUNDUNG yang hidup hanya SI BORU NAOMPON. Dia tinggal bersama ompungnya di Si Raja Oloan. Suatu kali pada musim panen RAJA MARDAUP dan RAJA SITOMBUK sepakat untuk mengutus RAJA HUTABULU berangkat ke rumah ompung mereka menjemput SI BORU NAOMPON menggunakan sampan kecil (solu pardengke).
Kemudian
RAJA HUTABULU tiba di rumah ompungnya dengan selamat. Dia
memberitahukan bahwa maksud dan tujuannya untuk menjemput SI BORU
NAOMPON. Lalu SI BORU NAOMPON diberangkatkan oleh Tulang dan ompungnya
dengan acara makan khusus disertai doa agar kiranya SI BORU NAOMPON
segera menemukan jodoh (sirongkap ni tondi). Setelah itu berangkatlah
mereka berdua menuju Balige.
Dalam
perjalanan menggunakan sampan di danau Toba yang luas angin berhembus
kencang. RAJA HUTABULU berusaha mengayuh dayungnya agar sampan bergerak
menuju arah yang dikehendaki. Tiba – tiba dayungnya patah dan hanyut
terbawa ombak. Dalam keadaan terombang – ambing sampan itu mengikuti
arah angin dan untuk menenangkan keadaan SI BORU NAOMPON bernyanyi;
“Ue..luahon ahu da parau, ulushon ahu da alogo manang tudiape taho,
asalma tu topi tao”.
Mendengar
ada suara wanita bernyanyi, seorang pemuda yang sedang berada di tengah
danau Toba dekat bagian pantai Marom langsung mengayuh sampannya menuju
sumber suara itu. Setelah mendekatkan sampannya dia melihat ada dua
orang dalam sebuah sampan dan mereka tidak mempunyai dayung. Setelah
mengetahui bahwa keduanya bersaudara maka pemuda itu (NA MORA JOBI
SIRAIT) membawa mereka ke Marom dan beristirahat satu malam di sana.
Keesokan
harinya dengan dayung baru serta dipandu NA MORA JOBI SIRAIT, mereka
bertolak dari Marom menuju Balige. Inilah pertemuan antara SI BORU
NAOMPON dengan NA MORA JOBI SIRAIT dan dengan senang NA MORA JOBI SIRAIT
mengantar sampai ke Balige. Beberapa hari kemudian mereka berdua
sepakat untuk menikah. NA MORA JOBI SIRAIT pun pulang dan memberitahukan
hal itu pada orangtuanya yang sudah melihat kecantikan SI BORU NAOMPON.
Dengan senang mereka setuju dan mendukung permintaan puteranya lalu
berangkat melamar SI BORU NAOMPON.
RAJA
PARSURATAN sudah semakin tua dan jika hendak pergi kemana – mana dia
enggan pergi sendirian. Kadang – kadang dia membawa anak tunggalnya
kalau bepergian tetapi sering juga bersama adik tirinya yang masih
lajang yaitu RAJA HUTABULU. Suatu saat RAJA PARSURATAN pergi dan RAJA
HUTABULU ikut serta sebagai pembawa kantongan (sitiop hajutna). Mereka
berjalan mengikuti jalan setapak naik turun lembah. Ketika mereka
berjalan di dataran tinggi Silangit tiba – tiba RAJA HUTABULU melihat
segumpal benda jatuh dari atas dan dikerjarnya ke depan lalu ditangkap
menggunakan ulos hande handenya kemudian dibungkusnya.
RAJA
PARSURATAN melihat adiknya berlari dan berkata; “Adikku, benda apa yang
tadi kamu tangkap?”. Sahut adiknya; “Abang yang kuhormati, aku belum
tahu apa yang kutangkap dan bungkus ini, tetapi aku akan membukanya dan
memberitahukan apa isi ulosku ini pada abang apabila kita sudah kembali
ke kampung kita, asalkan abang berjanji akan membagikan harta
peninggalan mendiang ayah kita”. Tanpa pikir panjang RAJA PARSURATAN pun
setuju. Sebenanrnya RAJA MARDAUP dan RAJA SITOMBUK tidak pernah berani
meminta bagian harta warisan pada abang mereka.
Setelah
kembali ke kampung RAJA HUTABULU menceritakan pada kedua abangnya
tentang apa yang dia katakan pada abangnya dalam perjalanan dan juga
tentang janji abangnya yang akan membagi harta warisan.
Tibalah
waktunya, tua – tua kampung diundang datang berkumpul menyaksikan
pertemuan itu. RAJA HUTABULU menyatakan maksudnya pada kumpulan tua –
tua itu (ria raja). “Karena ada sesuatu yang jatuh dari atas dan
kutampung lalu kubungkus dengan ulos hande handeku dan ini terjadi dalam
perjalanan aku dan abang yang kuhormati sewaktu di Silangit. Abang kami
ini ingin mengetahui apa isi dari bungkusan ini yang aku sendiri juga
belum tahu. Namun abang yang kuhormati ini telah berjanji akan
memberikan bagian warisan peninggalan mendiang ayah kami apabila aku
menunjukkan dan membagi benda yang akan kita lihat ini”. Perkataan
tersebut dibenarkan oleh RAJA PARSURATAN dan disaksikan oleh semua orang
yang berkumpul di halaman rumah RAJA MARSUNDUNG ayah mereka.
Maka
dihadapan para tua – tua RAJA HUTABULU membuka bungkusan hande handenya
itu dan tampaklah abu bekas sarang burung yang terbakar di dalamnya.
Setelah RAJA PARSURATAN melihat dia mengatakan bahwa bukannya dia tidak
mau membagi warisan dan kemudian dia berkata; “Tunggu kalianlah dapat
dulu dua bulan”. Lalu kumpulan pun bubar dengan kesimpulan bahwa setelah
dapat waktunya dua bulan baru akan ada pembagian warisan.
Dua
bulan kemudian RAJA HUTABULU mengumpulkan tua – tua kampung untuk
melakukan ria raja. Di hadapan ria raja RAJA PARSURATAN berkata pada
adiknya; “Mana bulan yang sudah kamu dapat, sudahkah ada dua?”. Semua
yang mendengarnya heran ternyata maksud dari ucapan RAJA PARSURATAN pada
ria raja sebelumnya bukanlah mengenai tenggang waktu dua bulan, tetapi
tentang mendapatkan dua buah bulan. Maka ria raja berakhir dengan
mengecewakan pihak tiga bersaudara seibu.
Dua
minggu kemudian malam harinya ketika posisi bulan persis berada di atas
di langit, pergilah RAJA HUTABULU ke sumur tempat dimana dulu mendiang
ayahnya biasa mandi. Dia menatap ke permukaan air dalam sumur dan
melihat bayangan bulan di situ. Segera dia bergegas menjumpai kedua
abangnya dan mengatakan bahwa dia baru saja menemukan dua buah bulan.
Dengan
rasa was – was kedua abangnya dan RAJA HUTABULU kembali mengundang tua –
tua kampung. Setelah semuanya hadir termasuk RAJA PARSURATAN lalu RAJA
HUTABULU berdiri dan berkata; “Amang raja na liat na lalo, lumobi di ho
angkang raja na malo, didokhon ho dung dapot dua bulan asa lehononmu
parbagianan sian na pinungka ni amanta na hinan. On pe saonari ba nunga
dapothu be alus ni hatami raja bolon. Betama hita tu parmualan paridian
ni amnta an”. Artinya; “Bapak – bapak sekalian kumpulan yang terhormat,
amat terlebih abang yang kuhormati, kamu berkata setelah dapat dua buah
bulan barulah kamu memberikan warisan dari mendiang ayah kita dan kini
aku sudah menemukannya. Marilah kita bersama – sama pergi ke sumur
tempat madi ayah.
Seluruh
yang hadir di situ berjalan menuju sumur. Setibanya di sana RAJA
HUTABULU menunjuk ke permukaan air di dalam sumur dan terlihat ada
bayangan bulan di situ, kemudian dia menunjuk ke arah atas dimana juga
terlihat ada bulan. Akhirnya RAJA PARSURATAN tidak dapat lagi mengelak
dan dilakukanlah pembagian warisan setelah mereka kembali ke halaman
rumah.
Lalu
kemudian RAJA PARSURATAN berkata; “Sekarang di hadapan tua – tua aku
akan membagi warisan peninggalan orang tua kita”. Beginilah
pembagiannya:
1. Mengenai sawah, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka tanah persawahan yang pertama dialiri air adalah milikku dan karena ibu kita dua orang, maka tanah akan dibagi dua luasnya.
2. Mengenai semua kerbau milik mendiang ayah kita, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka paha depan (parjolo) setiap kerbau merupakan bagianku, sedangkan paha belakang adalah bagian kamu bertiga anak istri ayah yang kemudian (parpudi).
1. Mengenai sawah, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka tanah persawahan yang pertama dialiri air adalah milikku dan karena ibu kita dua orang, maka tanah akan dibagi dua luasnya.
2. Mengenai semua kerbau milik mendiang ayah kita, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka paha depan (parjolo) setiap kerbau merupakan bagianku, sedangkan paha belakang adalah bagian kamu bertiga anak istri ayah yang kemudian (parpudi).
Pembagian warisan itu ditetapkan di hadapan tua – tua kampung dan tidak ada seorang pun yang berbicara menentang pembagian itu.
Narator
sendiri yang adalah keturunan SIMANJUNTAK SI TOLU SADA INA sudah
melihat langsung lokasi sawah warisan dari RAJA MARSUNDUNG yang dibagi
dua itu. Kenyataannya setelah diamati; sawah di kampung Parsuratan
terletak di hulu Aek Bolon yang mengairi persawahan di daerah itu,
sedangkan sawah di kampung HUTABULU berada di hilir. Sekiranya musim
kemarau melanda, maka kampung Parsuratanlah yang terlebih dahulu
menikmati air setelah air dipakai baru kemudian dialirkan ke hilir.
Mengenai
pembagian warisan ternak, di kalangan masyarakat Batak Toba bila hendak
membagi ternak berkaki empat, maka ternak itu dibagi dua dan selalu
dibagi menjadi sebelah – sebelah (sambariba). Namun RAJA PARSURATAN
membagi dengan cara lembu dibagi berdasarkan paha depan (parjolo) dan
paha belakang (parpudi). Hal ini sangat aneh dan dibalik keanehan itu
sebenarnya RAJA PARSURATAN telah mengantisipasi ke depan supaya hanya
dia yang selalu memanfaatkan tenaga kerbau untuk membajak sawah dan
menarik pedati makanya dia membagi dengan cara yang demikian. Jadi karna
hanya satu – satunya peristiwa pembagian kerbau yang demikian anehnya,
maka orang kebanyakan sejak saat itu mengejek dengan sebutan ‘Parhorbo
jolo’ terhadap RAJA PARSURATAN dan keturunannya. Sedangkan kepada ketiga
bersaudara seibu orang menyebut mereka dengan ‘Parhorbo pudi’.
Bagi
para pembaca yang bermarga atau boru SIMANJUNTAK narator mengajak dan
berpesan bila kita ditanya; “SIMANJUNTAK mana kamu?” sebaiknya kita
jawab “SIMANJUNTAK PARSURATAN” atau “SIMANJUNTAK SI TOLU SADA INA” sebab
istilah ‘Parhorbo jolo’ dan ‘Parhorbo pudi’ merupakan ejekan orang
Batak Toba tempo dulu terhadap pembagian warisan ternak kerbau kita.
Ejekan itu berkembang dan kini dianggap sebagai suatu istilah di
kalangan orang Batak Toba padahal bagi kita keturunan SIMANJUNTAK RAJA
MARSUNDUNG sudah tidak ada lagi kerbau kita, kan?
Sebelumnya telah diceritakan bahwa RAJA HUTABULU sejak remaja sampai menjadi seorang pemuda sering berkunjung ke daerah Si Raja Oloan ke rumah Ompungnya (SI GODANG ULU SIHOTANG) baik itu karna mengantar jemput itonya (SI BORU NAOMPON) maupun hanya sekedar bertandang ke sana.
Sebelumnya telah diceritakan bahwa RAJA HUTABULU sejak remaja sampai menjadi seorang pemuda sering berkunjung ke daerah Si Raja Oloan ke rumah Ompungnya (SI GODANG ULU SIHOTANG) baik itu karna mengantar jemput itonya (SI BORU NAOMPON) maupun hanya sekedar bertandang ke sana.
Suatu
ketika dia melihat seorang Boru Tulang yang sangat cantik dan boleh
dikatakan gadis tercantik di seluruh daerah Si Raja Oloan. Kemudian
karena RAJA HUTABULU memang seorang pemuda pintar (simak kisah bagaimana
ketika dia menghadapi abang tirinya, dia selalu tampil piawai dalam
pemikiran dan pembicaraan) dan hal ini terdengar sampai ke daerah Si
Raja Oloan. Boru Tulangnya tadi sudah pernah berkunjung ke Balige, yaitu
ke tempat amang borunya (ayahnya RAJA HUTABULU). Jadi merupakan pilihan
yang tepat jika RAJA HUTABULU mempersunting paribannya itu menjadi
istrinya.
Suatu saat sewaktu suami istri RAJA HUTABULU dan Boru SIHOTANG duduk – duduk di depan rumahnya, melintaslah seorang yang buruk rupa dan Boru SIHOTANG menyeletuk; “Jelek sekali orang ini seperti beruk aku lihat” (versi Toba; “Roa nai jolma on songon bodat huida”). Perkataan itu kedengaran oleh orang tadi dan dia membalas; “Aku kamu bilang seperti beruk? Biarlah lahir anakmu yang seperti beruk!” (versi Toba; “Ahu didok ho songon bodat? Ba sai tubuma anakmu na songon bodat!”). Pada saat itu Boru SIHOTANG sedang mengandung anak pertamanya dan perkataan orang tadi selalu mengiangiang di telinganya.
Suatu saat sewaktu suami istri RAJA HUTABULU dan Boru SIHOTANG duduk – duduk di depan rumahnya, melintaslah seorang yang buruk rupa dan Boru SIHOTANG menyeletuk; “Jelek sekali orang ini seperti beruk aku lihat” (versi Toba; “Roa nai jolma on songon bodat huida”). Perkataan itu kedengaran oleh orang tadi dan dia membalas; “Aku kamu bilang seperti beruk? Biarlah lahir anakmu yang seperti beruk!” (versi Toba; “Ahu didok ho songon bodat? Ba sai tubuma anakmu na songon bodat!”). Pada saat itu Boru SIHOTANG sedang mengandung anak pertamanya dan perkataan orang tadi selalu mengiangiang di telinganya.
Pada
waktu akan melahirkan Boru SIHOTANG Na Uli pernah bermimpi ada seorang
tua datang padanya dan mengatakan bahwa yang akan lahir darinya adalah
bayi laki – laki yang memiliki kesaktian sebab itu tidak perlu kuatir
atau kecewa apabila nantinya ada yang agak berbeda pada tubuhnya.
Mimpinya ini diberitahukan pada suaminya dan mereka berdua merasa was –
was menantikan kelahiran anak pertama mereka.
Tibalah
harinya, setelah bersalin diketahui bahwa sang bayi memiliki bentuk
tulang punggung lebih panjang sekitar satu jari telunjuk dari bokongnya
tampak seperti ekor yang pendek. Dan saat itu RAJA HUTABULU melirik
keluar jendela rumahnya, tampak ada seorang tua berdiri di halaman
rumahnya dan berkata; “Hei bapak, jangan bersusah hati karena anakmu itu
adalah seorang anak sakti” (versi Toba; “He amang, unang ho marsak
alana anakmi nahasaktian”). Setelah berkata demikian orang itu berubah
menjadi londok dan langsung memanjat pohon enau kemudian hilang di
antara pelepah enau. RAJA HUTABULU spontan berteriak; “Raja Hodong..Raja
Hodong..Raja Odong..” (versi Toba; “Raja Pelepah..Raja Pelepah..Raja
Pelepah..”). Setelah peristia itu bayi pertama itu pun diberi nama SI
RAJA ODONG. Secara fisik SI RAJA ODONG sangat tampan rupanya sebab
ibunya cantik dan ayahnya tampan dan gagah.
SI
RAJA ODONG makin bertambah besar dan pada waktu dia belajar duduk
ayahnya membuatkan bangku pendek yang ditengahnya dilubangi tempat
tulang SI RAJA ODONG yang seperti ekor itu. Tidak banyak orang yang
mengetahui keanehan ini karena masa itu belum ada celana. Pakaian orang
Batak adalah ulos yang dililitkan menutupi badan yang disebut heba heba.
Menurut
penyelidikan antropologi budaya Batak Toba, maka sejak keberadaannya
orang Batak tidak pernah bertelanjang karena ulos Batak sama usianya
sejak adanya SI RAJA BATAK (orang Batak pertama). Sebelum Belanda datang
ke tanah Batak, maka ulos Batak dipakai sehari – hari sebagai berikut:
– Ulos yang menutupi badan disebut heba heba.
– Ulos yang menutupi bahu ke bawah disebut hande hande yang juga sering disandangkan di bahu.
– Ulos penutup kepala disebut saong saong dan bila diikatkan di kepala maka disebut bulang bulang atau tali tali.
– Ulos yang menutupi badan disebut heba heba.
– Ulos yang menutupi bahu ke bawah disebut hande hande yang juga sering disandangkan di bahu.
– Ulos penutup kepala disebut saong saong dan bila diikatkan di kepala maka disebut bulang bulang atau tali tali.
Tingkat
budaya berpakaian pada masa itu membuat SI RAJA ODONG tidak merasa
asing atau minder jika bersosialisasi dengan orang lain. Hanya keluarga
dekat saja yang mengetahui kelebihan SI RAJA ODONG ini.
Setelah
beberapa tahun kemudian istri RAJA HUTABULU kembali mengandung dan
selama mengandung dia selalu memohon tuah agar MULA JADI NA BOLON
(Tuhan) memberikan seorang anak laki – laki lagi tetapi yang tidak
mempunyai keanehan. Doanya pun terkabul dan lahirlah seorang anak laki –
laki yang rupanya sama persis seperti abangnya. Bahkan setelah dewasa
kedua anak RAJA HUTABULU ini sama besarnya dan banyak orang menyangka
keduanya adalah saudara kembar. Begitu lahir dan ternyata bayinya laki –
laki maka dia diberi nama TUMONGGO TUA yang bila diartikan ke dalam
bahasa Indonesia artinya ‘memohon tuah melalui doa’.
Setelah
kedua anak ini semakin dewasa mereka kelihatan tampan dan gagah
melebihi ayah mereka. Banyak gadis yang tertarik dan jatuh cinta pada
mereka. Tetapi apabila berkenalan lebih jauh dengan keduanya maka akan
diketahui bahwa SI RAJA ODONG memiliki perbedaan dengan adiknya.
Setelah sekian lama saling mencinta dengan Boru SIHOTANG paribannya, TUMONGGO TUA ingin segera menikah. Namun orang tuanya menganjurkan kalau dia boleh menikah setelah abangnya menikah. Satu – satunya cara agar TUMONGGO TUA dapat segera menikah adalah dengan mencarikan seorang calon istri bagi abangnya. Lalu berangkatlah TUMONGGO TUA dengan sampan ke pulau Samosir. Di sana konon banyak gadis yang sampai berumur tua belum menikah karena ketatnya hukum bersaudara. Bagi kesatuan marga keturunan NAIAMBATON yang banyak bermukim di Samosir sampai sekarang masih tetap mempertahankan tradisi tidak boleh saling menikah antar sesama keturunan marga – marga NAIAMBATON.
Setelah sekian lama saling mencinta dengan Boru SIHOTANG paribannya, TUMONGGO TUA ingin segera menikah. Namun orang tuanya menganjurkan kalau dia boleh menikah setelah abangnya menikah. Satu – satunya cara agar TUMONGGO TUA dapat segera menikah adalah dengan mencarikan seorang calon istri bagi abangnya. Lalu berangkatlah TUMONGGO TUA dengan sampan ke pulau Samosir. Di sana konon banyak gadis yang sampai berumur tua belum menikah karena ketatnya hukum bersaudara. Bagi kesatuan marga keturunan NAIAMBATON yang banyak bermukim di Samosir sampai sekarang masih tetap mempertahankan tradisi tidak boleh saling menikah antar sesama keturunan marga – marga NAIAMBATON.
Selama
di atas sampan dalam perjalanannya TUMONGGO TUA selalu memohon kepada
MULA JADI NA BOLON supaya dia bertemu dengan seorang gadis cantik untuk
dilamar menjadi kakak ipar (angkang boru). Ketika berada di tengah danau
Toba tiba – tiba angin bertiup kencang sekali (alogo lubis) dan
menghantam sampannya hingga sampannya hancur. Dia mencoba sekuat tenaga
berenang mencapai daratan dan berhasil. Setelah berada di tepi danau
Toba dia tak sadarkan diri dan pingsan.
Ombak
berdebur laksana irama musik yang menyambut kedatangan TUMONGGO TUA di
situ di daerah Lontung, yaitu di Muara (sekarang persis di tempat
pemandian Puteri RAJA SIANTURI). Dia terbaring hingga sore hari dia
ditemukan oleh SI BORU ULI BASA Boru SIANTURI yang hendak mengambil kain
cucian yang dijemur di tepi danau. Setelah melihat pemuda tampan itu
BORU ULI BASA berkata; “Kalau kamu memang manusia, siapakah namamu?
Kalau kamu seorang yang memiliki kesaktian maafkan aku tidak bermaksud
menggangumu, tetapi kalau kamu manusia aku mau mendampingimu seandainya
kamu membawaku pergi bersamamu dan aku menjadi istrimu” (versi Toba;
“Molo na jolma do ho paboa ise goarmu. Molo na martua – tua do ho
unangma muruk ho tu ahu ala ndang na manggugai ho ahu, alai molo jolma
do ho olo do ahu mandongani ho aut tung olo ho mamboan ahu tu hutam gabe
inantam”).
Samar
– samar perkataan itu didengar oleh TUMONGGO TUA yang mulai siuman.
Lalu dia mulai membuka matanya perlahan dan melihat ada seorang gadis
cantik jelita di sebelahnya. Dia langsung mengucek matanya seakan tidak
percaya akan apa yang dilihatnya kemudian dengan suara pelan dia
berkata; “Apakah ini mimpi aku berada di sebelah puteri yang cantik.
Sekiranya bukan mimpi apa gadis ini mau kalau aku membawanya menjadi
menantu orang tuaku? (versi Toba; “Na marnipi do ahu nuaeng di lambung
ni si boru na uli basa? Aut sura na so marnipi do ahu oloma nian
boanonhu gabe parumaen ni damang dohot dainang”).
Mendengar
ucapan itu BORU ULI BASA langsung memegang tangan TUMONGGO TUA lalu
membangunkannya dan menuntun dia berjalan menuju rumah orang tua BORU
ULI BASA sebab hari sudah sore. Sesampainya di rumah, keluarga BORU ULI
BASA bergembira kedatangan tamu seorang pemuda yang tampan dan gagah.
Dalam percakapan dengan orang tua BORU ULI BASA, TUMONGGO TUA
memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa dia adalah cucu RAJA
MARSUNDUNG SIMANJUNTAK dan anak RAJA HUTABULU dari Balige. Dia juga
menjelaskan bagaimana dia bisa ada di sana dan apa maksud dari
perjalanan jauhnya itu. Mendengar penjelasan itu BORU ULI BASA merasa
gembira dalam hatinya dia terpikat akan ketampanan TUMONGGO TUA.
Setelah
beberapa hari tinggal di daerah Lontung tejadi pembicaraan antara
TUMONGGO TUA dan BORU ULI BASA yang intinya tentang kesediaan BORU ULI
BASA agar menjadi menantu bagi orang tua TUMONGGO TUA. Jawaban dari BORU
ULI BASA sangat jelas, yaitu dia mau dan bersedia. Akan tetapi
sebaliknya apabila TUMONGGO TUA mendapat pertanyaan yang sama dia tidak
menjawab secara jelas bersedia namun dia menjawab pertanyaan itu dengan
perkataan; “Tatap wajahku dan perhatikanlah langkahku serta ketahuilah
maksud kedatanganku” (versi Toba; “Berengma bohiku jala parateatehonma
pardalanhu huhut antusima sangkap ni haroroku”).
BORU
ULI BASA memang calon menantu RAJA HUTABULU tetapi bukan untuk menjadi
istri bagi TUMONGGO TUA. Memang RAJA ODONG dan TUMONGGO TUA sangat mirip
seperti saudara kembar disegala – galanya baik dilihat dari rupa, cara
berjalan bahkan juga cara berbicara dan dari suara semuanya sama. Sangat
sulit membedakan keduanya kecuali ini; RAJA ODONG memiliki kelebihan
tulang belakang sepanjang jari telunjuk. Perbedaan mereka ini
dirahasiakan TUMONGGO TUA demi harapan dia bisa direstui menikah setelah
abangnya menikah.
Setelah
berjanji bahwa mereka akan kembali bertemu, TUMONGGO TUA pamit dengan
keluarga BORU ULI BASA untuk pulang ke Balige dan nanti dia akan kembali
datang bersama orang tuanya melamar BORU ULI BASA.
Setibanya di Balige TUMONGGO TUA menceritakan perjalanannya kepada abang dan orang tuanya. Kemudian mereka menyusun rencana:
–
TUMONGGO TUA dan orang tuanya segera melamar puteri RAJA SILALA LASIAK
yaitu BORU ULI BASA dan selama mereka di sana sepanjang pembicaraan
tidak boleh memanggil TUMONGGO TUA dengan namanya tetapi dengan nama
SIMANJUNTAK.
–
Pesta pernikahan diadakan di rumah pihak pengantin wanita (dialap jual)
dan yang mendampingi BORU ULI BASA dalam acara adat sepenuh itu (ulaon
na gok) adalah TUMONGGO TUA hingga dalam perjalanan di danau Toba sampai
Balige. Bila sudah tiba di dermaga maka TUMONGGO TUA turun dari perahu
besar (solu bolon) dan mengikatkan tali perahu di dermaga. Bersamaan
dengan itu RAJA ODONG sudah siap dan sesuai tanda RAJA ODONG langsung
menggantikan posisi adiknya naik ke perahu untuk menuntun BORU ULI BASA
dan seterusnya mendampinginya menjadi suami bagi BORU ULI BASA.
–
Pakaian yang dikenakan kedua abang beradik ini harus dibuat sama
persis. Setelah mengikatkan tali perahu di dermaga maka TUMONGGO TUA
harus menghilang untuk sementara waktu dan pergi ke daerah Si Raja Oloan
dan tinggal di sana di rumah Tulangnya sampai BORU ULI BASA melahirkan
anak pertamanya bagi RAJA ODONG.
Setelah
rencana itu disepakati maka ditentukanlah kapan mereka akan berangkat.
Rencana pun dilaksanakan dan pesta pernikahan meriah di daerah Muara
berlangsung mulus sesuai rencana. Setelah itu mereka bertolak pulang
menuju Balige melalui danau Toba. Sesampainya di dermaga di Balige yaitu
tepatnya di Lumban Bul Bul sekira jam tujuh malam dan keadaan seperti
ini dalam bahasa Batak Toba disebut urngum (jarak pandang mata tidak
lagi memungkinkan melihat orang di kejauhan).
Di
dermaga RAJA ODONG telah menunggu kedatangan rombongan keluarganya
bersama BORU ULI BASA. Setelah perahu besar itu tiba dan merapat ke
dermaga, turunlah TUMONGGO TUA untuk mengikatkan tali perahu lalu
langsung pergi menghilang di kegelapan dan kemudian RAJA ODONG langsung
naik ke perahu menjemput BORU ULI BASA serta berjalan berdampingan
sampai ke rumah RAJA HUTABULU. Malam itu diadakan acara penyambutan
(pangharoanion). Mulai saat itu RAJA ODONG yang mendampingi BORU ULI
BASA, sedangkan adiknya sudah pergi sesuai rencana ke rumah Tulangnya.
Begitulah kisah pernikahan RAJA ODONG dengan BORU ULI BASA Boru SIANTURI sehingga ada sindiran seperti ini:
“Si RAJA ODONG papiu piu tali, tali ijuk sian bagot. Anggina manandangi, alai ibana diharoani jala mandapot”
Pekerjaan
sehari – hari RAJA ODONG adalah memintal tali yang dibuat dari ijuk
pohon enau. Konon pada masa itu, tali buatan RAJA ODONG ini paling baik
kualitasnya dan harga jualnya tinggi di pasar Balige dan Laguboti bahkan
sampai ke Porsea dan Siborong Borong. RAJA ODONG selalu duduk di bangku
khusus yang berlubang di tengahnya dan kemanapun dia pergi bangku itu
selalu dibawanya.
Sejak
menikah dengan RAJA ODONG, BORU ULI BASA tidak pernah bekerja di sawah.
Pekerjaannya adalah menggembalakan kambing. Ternak kambingnya gemuk –
gemuk dan jika beranak sering sampai tiga atau empat sehingga keluarga
RAJA ODONG memiliki banyak sekali ternak kambing.
Kemudian bayi pertama
lahir bagi keluarga RAJA ODONG dan anak pertama mereka ini diberi nama
RAJA BOLAK HAMBING atau RAJA PARHAMBING. Demikianlah seterusnya mereka
dikaruniai tujuh orang anak laki – laki:1. RAJA BOLAK HAMBING (RAJA PARHAMBING)
2. TUAN NAHODA RAJA
3. MAHARIA RAJA (MANGORONG BAHUT)
4. RAJA MARLEANG (MARLEANG BOSI)
5. RAJA MANORHAP (RAJA SITUNGGAL)
6. RAJA MAEGA gelar Ompu TOGA OLOAN
7, DINGKIR ULUBALANG gelar PARTAHI OLOAN (DATU MAEGA)
Namun
sampai sekarang baru keturunan RAJA PARHAMBING dan TUAN NAHODA RAJA
saja yang sudah mengetahui bahwa mereka adalah keturunan dari RAJA
ODONG.
Tentang
TUMONGGO TUA, setelah berita kelahiran anak pertama RAJA ODONG abangnya
sampai kepadanya, betapa bahagianya dia dan paribannya. Lalu setelah
mendengar kabar baik itu mereka berdua datang berkunjung ke Balige dan
memastikan bahwa rombongan RAJA HUTABULU akan pergi melamar Boru
SIHOTANG (pariban TUMONGGO TUA tersebut).
Sejarah Simanjuntak adalah sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh generasi simanjuntak. Generasi simanjuntak tahun 60-an mungkin banyak yang belum tahu bahkan ada yang tidak mau tahu. Bagi Generasi Muda Simanjuntak harus mengetahui sejarah simanjuntak ini. Terutama kami dari generasi simanjuntak perantau yang banyak tidak bisa berbahasa batak perlu memahami tentang sejarah simanjuntak. Bagi generasi 90-an sebagai anak-anak kita yang dimodifikasi budaya-budaya modern sehingga melupakan budaya batak harus dimulai dengan memahami sejarah simanjuntak.Generasi Simanjuntak yang cerdas dan berbudaya adalah generasi yang tahu akan budaya silsilah marganya yang merupakan kekayaan budaya dari orang batak yang tidak dimiliki oleh suku bangsa lainnya.Oleh karena itu, tugas yang penting saat ini bagi marga simanjuntak adalah bagaimana mencerdaskan generasi muda simanjuntak sehingga menjadi generasi muda yang berguna bagi bangsa dan negaranya.